Cinta Indonesia dari Lereng Merapi

Merinding rasanya membantu teman-teman #ManggalaAgni, polhut, seluruh staf Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) serta masyarakat sekitar kawasan memadamkan api yang membakar kawasan TNGM.  Berulang kali kawasan hutan di Srumbung, kab Magelang terbakar.  Dan semuanya bahu membahu memadamkannya, tanpa lelah.  Bahkan para staf, polhut TNGM harus meninggalkan keluarganya untuk bergantian berjaga di pos, mengantisipasi kebakaran hutan yang berulang.

Nyaris dua bulan rekan-rekan berjaga dan berulangkali memadamkan api yang melalap pepohonan di kawasan TNGM, dan luasannya bahkan mencapai 200 hektar.  Diantaranya bahkan ada area restorasi yang baru kita rintis, untuk menghijaukan kembali Merapi.  Tetapi semuanya dilalap si Jago Merah.

Saya selama ini hanya mendengar perjuangan mereka, tanpa pernah bertindak nyata, hanya bisa mendoakan dari jauh agar mereka senantiasa diberi kesehatan dan kekuatan.  Hingga suatu saat, 25 September 2015, saya bisa bergabung dengan mereka di Dapur Umum.  Peran yang sangat kecil rasanya dibandingkan jibsayanya para #ManggalaAgni nan gagah berani. Tapi demi Tuhan, inilah hal yang membukakan matsaya.  Betapa perjuangan memadamkan api, terlebih lagi dalam hal kebakaran hutan, akan sangat luar biasa melelahkan.  Bayangkan saja, dengan peralatan seadanya mereka harus memadamkan api di kawasan hutan yang seringkali topografinya tidak rata.  Dan lagi itu harus ditempuh dengan jalan kaki, bukan dengan kendaraan bermotor, apalagi mobil pemadam kebakaran.  Inilah salah satu yang menyebabkan pemadaman kebakaran hutan terkesan lamban dan tidak efektif.

Ketika beristirahat dan menikmati makan siang dari Dapur Umum, kutanya salah seorang masyarakat mengapa dia mau repot-repot memadamkan api, toh itu bukan hutan dia? “Hutan ini memang bukan punya saya mbak, tetapi jika saya diam, saya malu sama Tuhan, selama ini dikasih udara sehat, dikasih tanah bagus, kenapa saya tidak tahu berterima kasih? Saya membantu memadamkan api minimal untuk bersyukur pada Gusti Allah mbak,” ujarnya dalam bahasa jawa, seraya menggigit tempe hasil saya dan tim Dapur Umum memasak tadi.

“Inggih mbak, saya cinta Merapi, saya cinta Indonesia, karena itu saya pengin hutan ini kembali ijo royo-royo, tak perlu ada yang membayar, bahkan negara.  Karena sekarang lah saya membayar apa yang selama ini saya peroleh dari Merapi, dari tanah ini, udara dan air bersih,” jelasnya lagi ketika kutanya mengapa beliau mau bersusah payah memadamkan api, tanpa dapat imbalan apapun. “Saya orang bodo mbak, bisanya saya nggih namung ngaten, tidak bisa berbuat banyak, tapi mbak saya #CintaIndonesia,” mendadak mata saya berkaca.  Duh Gusti, Kau tampar hamba-Mu ini melalui perkataan si bapak ini, betapa apa yang kulsayakan untuk Indonesia jauh dari cukup.

Duh Gusti, jika Engkau berikan pada saya kesempatan, ku akan berjuang demi cinta saya pada Indonesia.  Tiada muluk-muluk, berbuat yang terbaik dalam bertugas demi konservasi alam, rasanya bukan sesuatu yang sulit bagi warga negara yang satu ini.  Baiklah, terima kasih Bapak, telah ‘menampar’ saya kala itu.

Sleman, 31 Oktober 2015


*Tulisan ini diikutkan dalam lomba kuis #CintaIndonesia yang diselenggarakan oleh #IIDNJogja

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria-pria yang ganjen dan gatal

Disiplin dan Resolusi

Lagu Indonesia Raya, kapan terakhir Anda menyanyikannya?