CERITA RAHMA

Dear Tuhan,
Sembuhkanlah ibuku, sebentar lagi bulan puasa. Kalau ibu masih sakit, lalu siapa yang akan memasakkan kami kolak untuk berbuka puasa.  Kalau ibu masih sakit, siapa yang memasakkan kami makanan untuk sahur dan buka puasa.  Sekali lagi, tolong sembuhkan ibuku, Tuhan.

Gadis berambut panjang itu menuliskan rangkaian doa untuk ibunya yang terbaring sakit di diary kesayangan.  Disambungnya dengan kata-kata yang muncul dari hatinya.

Aku rindu ibuku, aku rindu semua tentang ibu.  Aku sudah rindu untuk bercerita tentang sekolahku.  Aku rindu belaian ibu, juga rindu bercerita banyak hal menjelang tidurku.  Bahkan, aku pun sangat merindukan masakan ibu, aku sudah sangat bosan dengan masakan Uwa Tinah.

*********

3 Ramadhan 1411 H
Sore hari menjelang saat berbuka puasa, terlihat si gadis kecil itu sedang mengisi waktu dengan membenahi gelas-gelas yang telah ia cuci ke lemari penyimpan pecah belah. Sebagai gadis tiga belas tahun, ia telah banyak diajari pekerjaan rumah tangga oleh ibunya.

“Prang,..” tiba-tiba kaca di lemari tersebut mendadak pecah tanpa sebab.  Ah, mungkin tersenggol tanpa sengaja olehku, piker si gadis kecil.  Segera ia benahi pecahan gelas yang berserakan, dan melanjutkan pekerjaannya. 

Waktu telah menunjukkan pukul 16.45, beberapa saat lagi adzan maghrib berkumandang.  “Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini, sebelum adzan maghrib berkumandang”  batinnya seraya melirik jam dinding.

“Ah, aku semakin rindu pada ibu, aku rindu masakan ibu yang biasa tersaji di saat berbuka puasa maupun bersantap sahur.  Bukan masakan Uwa Tinah.  Ibu, lekaslah sembuh, Rahma sudah rindu pada ibu”  gadis kecil itu lagi-lagi terisak. 

“Ibu jangan lama-lama sakitnya ya, Rahma dan Bapak sudah bosan masakan Uwa Tinah”, perlahan air mata menetes di pipinya.  Rindu yang teramat sangat telah membuatnya semakin terisak.
Sementara itu, di kejauhan berkumandanglah adzan maghrib penanda masuknya waktu berbuka puasa. 

**************

Waktu telah menunjukkan pukul 20.00, gadis kecil itu pulang dari mushala menunaikan tarawih.  Lagi-lagi ia rindu ibunya, rindu menunaikan ibadah tarawih di  mushala bersama.  

Langkahnya terhenti di depan rumah, rumah yang mulai tidak terurus tamannya.  Mendadak ia kaget, ada mobil ambulans di depan rumahnya, ada apakah?  Lamat-lamat dibaca tulisan disamping ambulans, Rumah Sakit Dr Margono Soekardjo Purwokerto.  Ia paham dengan apa arti tulisan itu.

Sebuah brankar didorong, ada sosok yang ditutupi kain panjang.  Ia hanya bisa terpana melihatnya.  Ia acuhkan orang di sekelilingnya, bahkan bapaknya, kakaknya, bahkan semua tetangga dan saudara jauhnya yang telah berkumpul di rumahnya yang mendadak penuh sesak. Langkah demi langkah mengantarkannya pada sosok diatas dipan itu.   Sosok yang wangi, bahkan wanginya pun bisa dirasakan semua orang yang ada di ruangan tersebut.  Wangi alami, bukan wangi parfum maupun sabun.  Wangi yang selalu diingat sang gadis kecil, bahkan hingga dewasa menjelang.

Sebagai anak kelas 1 SMP, dia paham bahwa sosok di atas brankar itu diantar pulang dengan satu alasan, sosok itu sudah tiada. Si gadis kecil itu sadar, Ibundanya telah tiada, dan si gadis itu tak punya daya untuk menangis, atau bahkan meratap. Dia hanya menatap nanar pada jenazah di depannya, dan kemudian jatuh terduduk. Dia tidak menyadari bahwa orang-orang di sekelilingnya menatap sedih dan iba padanya, pada seorang gadis bungsu dari almarhumah Siti Aminah Yahya.

Keesokan harinya, gadis kecil itu ikut memandikan jenazah ibunya, walau hanya mengusapkan sabun, karena dia memaksa ingin memandikan jenazah ibunya, hingga menyolati jenazah, bahkan mengantarkan ke pemakaman. Semuanya dilakukannya tanpa kata-kata. Gadis kecil periang itu telah menjadi pendiam, dalam hitungan waktu yang sangat singkat. Entah, mungkin dia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi, atau dia terlalu shock dengan kejadian ini. 

Kemudian malamnya, dia menangis, dan meratap memandangi sosok ibunya di sebuah foto, dan berkata "Ya Allah, kenapa Engkau berikan jatah waktu hanya 13 tahun ibu mendampingiku? Aku mungkin anak nakal, tapi aku tidak pernah jahat ama Ibu. Jika Engkau marah karena aku lalai menjalankan shalat fardhu, aku janji akan melakukannya tepat waktu ya Allah. Tapi kembalikan Ibuku, ya Allah. Aku janji tidak akan bohong lagi, aku janji akan jadi anak baik. Aku kadang emang iri kalau ibu terlihat lebih menyayangi mbak-ku, tapi gakpapa deh, asal ibu bisa kembali, aku mohon ya Allah..." sesenggukan si gadis itu menatap foto ibunya yang tersenyum manis.


Lalu protesnya "Teman-temanku banyak yang nakal, Tuhan, tapi kenapa bukan ibu mereka yang dipanggil????!!!" kian lama tangisnya makin histeris, hingga membuat bapaknya dan kakak-kakaknya yang mengintip, bergegas memeluk dan menenangkannya.

#FiksiIIDNJogja

Komentar

  1. Hmm...pengalaman pribadikah?

    *jadi teringat almarhumah ibuku...6 bulan yang lalu beliau tiada. Ramadhan ini tanpanya, huhuhu...

    Ealah...jadi curhat...btw, bagus ceritanya, Mbak...walau agak sedikit tersengal bacanya...:-)

    BalasHapus
  2. can't stop the falling tears...hope the little girl become tough woman right now. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria-pria yang ganjen dan gatal

Disiplin dan Resolusi

Lagu Indonesia Raya, kapan terakhir Anda menyanyikannya?