Ingin hijrah ke Jogja,.. (niru lagu the changcuters, ”hijrah ke london”)

Jogja,..jogja,..

Ingin hijrah ke jogja,..

Jogja,..jogja,...

Ingin kumenyusurinya,...

(dinyanyikan dengan cara the changcuters menyanyikan reff lagu ”hijrah ke london”)

Kalimat tersebut bukan hanya sekedar ikut2an lagunya the changcuters, namun benar2 keinginan dari dalam hati sejak akhir tahun 2006 yang lalu. Benar2 keinginan terdalamku,..

Makanya ketika ada kesempatan pengajuan alih tugas ke Jogja pada akhir tahun 2006, aku mengajukan pindah ke Taman nasional Gunung Merapi, namun entah kenapa, teman2 angkatanku lainnya dapat pindah ke Taman Nasional Gunung Ceremai, sementara pengajuanku entah dimana macetnya, hingga nggak keluar SK alih tugas-nya.

Tapi itu tidak menyurutkan keinginanku, awal tahun 2008 aku kembali mengajukan permohonan alih tugas ke Taman Nasional Gunung Merapi. Aku telah bertugas di Padang sejak Desember 2002, jadi hingga sekarang aku telah lebih dari 5 tahun bertugas di Padang, hingga aku pun berhak mengajukan pindah.

Awalnya agak sulit, karena bos besarku di Padang (Kepala Balai KSDA Sumbar, red.) tidak memberikanku rekomendasi, namun akhirnya kepala seksi konservasi dua wilayah membantu melobikan ke beliau, hingga akhirnya surat pengajuanku dapat meluncur ke Sekditjen PHKA di Jakarta untuk kemudian diproses sesuai aturan yang berlaku. Sekedar info, hingga detik ini aku posting tulisan ini, proses pengajuan pindahku tinggal tunggu SK sampai di tanganku, katanya sih udah dikirim,...

Lalu kenapa aku terkesan gigih sekali mengajukan pindah ke jogja?

Banyak hal yang menguatkan keinginanku pindah ke jogja, antara lain :

1. Aku sangat ingin pindah ke jogja, selain karena biaya hidup disana jauh lebih murah dibandingkan biaya hidup di Padang, juga karena biaya mudik kami ke Purwokerto dan Semarang dari jogja juga sangat lebih murah dibandingkan dari Padang;

2. Alasan rasional lainnya adalah bos kantor yang aku tuju itu sudah aku kenal, karena beliau pernah bertugas di Padang (walaupun tidak menjadi bosku), dan beliau sedikit banyak mengetahui tentang cara kinerjaku;

3. Jika aku tak juga dapat besaiswa untuk sekolah lagi, maka aku ingin bisa sekolah S2 di Jogja (walaupun dengan biaya sendiri), karena biaya hidup sebagai mahasiswa disana sangatlah murah;

4. Kami sangat mencintai budaya Jawa, kami sangat merindukan kembali pada kultur yang nyaman, kultur yang sangat memberikan efek positif pada kami. Bukannya kami mengklaim bahwa budaya Jawa lah yang terbaik, namun kami bisa mengatakan bahwa budaya Jawa lah yang tercocok bagi kami. (Alasan-alasan apa yang membuat kami lebih menyukai budaya jawa dibandingkan budaya Minang dapat ditilik pada posting berikutnya, red.)

5. Aku ingat kalimat yang diterakan pada harian ”Suara Merdeka” (harian lokal masyarakat Jawa Tengah, red.) bahwa setiap orang yang pernah hidup atau singgah di Yogyakarta pastilah ingin kembali ke kota itu. Ternyata kalimat itu benar adanya, walaupun aku belum pernah tinggal lama di Yogyakarta, namun ternyata kerinduan itu juga menyerangku. Dulu waktu SMA, aku hanya pergi ke Jogja ketika liburan, dan itupun hanya berangkat pagi pulang sore pakai Kereta api, hanya untuk menyusuri jalan malioboro,....

Entah berapa penyair, pencipta lagu, seniman yang terinspirasi dengan kehidupan Yogyakarta,... masih ingat kan Malioboro-nya Kla Project???

Hebatnya Yogyakarta, bisa menjadi magnet bagi penduduknya maupun yang sekedar berwisata untuk kembali kesana,....

6. Aku dan suamiku ingin berbakti pada keluarga besar kami, ingin menyempatkan banyak waktu untuk saling berkunjung (hal yang sulit kami lakukan jika kami masih tinggal di Padang, karena secara matematis untuk berkunjung ke mereka, kami pasti mengeluarkan dana yang tidak sedikit). Orang tua kami yang masih hidup hanyalah mertua (dan sekarang beliau berdua tinggal di Semarang), kami sangat ingin berbakti ke mereka di sisa usia mereka,...

7. Masih banyak lagi hal yang ingin kulaksanakan di Jogja, aku ingin berwiraswasta disana, bikin kios, menjadi insan yang bermanfaat dengan memberikan peluang kerja pada masyarakat banyak (kata kawanku, istilah kerennya jadi TDA = tangan di atas = tangan yang memberikan penghasilan bagi orang lain). I hope I can realize this dream,... Moga2 setelah ini ada posting blogspot yang menggambarkan bisnisku, baik bisnis konvensional maupun bisnis online,..

Tak sabar rasanya aku pindah ke Jogja dan menapakkan langkah lagi untuk mewujudkan mimpi2ku dengan semangat yang positif, dengan keikhlasan hati yang besar dan yang pasti adalah berkah dari-Nya, amiin,......

Komentar

  1. Tin, apa yang kamu bicarakan soal Jogja itu benar. Tapi supaya kamu tidak punya ekspektasi yang terlalu berlebihan soal Jogja, aku beri beberapa input mengenai hal-hal yang relatif kurang menyenangkan soal Jogja. Supaya kamu tidak kaget dan kecewa nantinya. setidaknya berdasarkan pengalaman pribadiku selama di Jogja:
    1. Banyak curanmor di Jogja. Di tiap gang ada peringatan: awas curanmor. Jadi hati-hati dengan kendaraanmu.
    2. Bagi yang amat peduli dengan halal-haram, perlu hati-hati. Halal-haram tidak terlalu jadi masalah bagi sebagian orang Jogja. Penjual makanan tidak halal tidak memberi peringatan untuk muslim kalau yang mereka jual itu makanan tidak halal. Padahal di Medan saja selalu ada peringatan itu. Karena tidak peduli soal halal haram itu, di Jogja sering ada isu pedagang ayam potong menjual ayam TIREN (mati kemaren). Banyak juga ayam potong yang dijual, di potong tidak sesuai ketentuan syariah mengenai bagaimana menyemblih hewan.
    3. Terlalu banyak pengamen, pengemis, yang mengurangi kenyamanan kita menikmati tempat-tempat nongkrong, baik saat makan di angkringan, lesehan, bahkan rumah makan. kamu perlu selalu punya banyak uang recehan. Karena sebagian peminta-minta itu belum akan pergi sebelum kita kasih uang.
    4. Biaya hidup akan jadi tinggi di Jogja kalau kamu memiliki mobilitas tinggi dengan kendaraan pribadi. Gak ada berhenti yang gratis di Jogja. Tiap kamu berhenti, ketika kamu akan jalan lagi, tidak bisa tidak, kamu harus bayar parkir. Bahkan saat kamu narik uang di ATM sekalipun, motormu tetap akan ditarik uang parkir. Jika sehari kamu stop di 10 tempat saja, kamu udah harus keluar uang 10 ribu.
    5. Masyarakat Jogja sangat permisif dengan kebebasan pergaulan. Kamu tentu sudah dengar banyak cerita soal ini kan? Tapi aku gak tau apakah ini termasuk hal yang kurang menyenangkan atau malah menyenangkan. Jadi tergantung masing-masing individu. Prostitusi juga kasat mata di Jogja, kalau tidak boleh dikatakan legal. Sekularisme akut dan pemurtadan juga bagian lain dari permasalahan di jogja, setidaknya menurut ku.
    Jadi gimana Tin? Tidak ada yang super ideal di manapun kita berada. ya kan?

    BalasHapus
  2. Saya tunggu kabarnya benar2 telah di Yogya, sukur-sukur mampir ke lembah cermai, atau kalau pas sama-sama di jawa silahkan mampir ke Boyolali (maaf Semarang biasanya hanya sebentar).
    blognya burhan ditunggu pertumbuhannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria-pria yang ganjen dan gatal

Disiplin dan Resolusi

Lagu Indonesia Raya, kapan terakhir Anda menyanyikannya?