Memasak, antara refreshing dan pengabdian
Tergelitik dengan status seorang
sahabat di status facebooknya beberapa waktu yang silam. Saat itu dia menulis
tentang pentingnya seorang istri melayani suami, dalam hal makanan dan
minuman. Sebisa mungkin, makanan dan
minuman yang disajikan adalah hasil karyanya.
Hal ini bukan membuat istri menjadi inferior, akan tetapi menjadi ajang
melekatkan diri antara suami istri, juga keluarga kecil mereka. Sahabatku juga mencontohkan, bahwa prinspinya
menjadi cemoohan temannya yang lain, dan dianggap kuno. Hari gini ka nada asisten, ada warung, kita bisa
tinggal suruh, atau bahkan tinggal beli.
Status ini menarik, bahkan untuk sekedar saling berkomentar.
Juga ketika seorang teman bercerita, "aku tidak suka memasak, dan terlalu sibuk untuk sekedar memasak. Semua yang menyajikan adalah asisten di rumah, bahkan hingga minuman yang dia minta." Jujur saya terkaget mendengarnya, tetapi apa hak saya untuk menilainya. Hanya saja, saya kemudian berpikir, dan bertekad, saya akan berusaha memasak dan menyajikan minuman untuk suami saya, selagi saya bisa.
Bukan, bahasan ini bukan kemudian
menjadi salah satu “Mommy War” yang
meributkan antara memasak atau membeli makanan, berkarir atau tetap tinggal di
rumah. Bukan itu!
Saya hanya kemudian merujuk pada diri
sendiri, betapa saya ternyata menyukai kegiatan di dapur. Dapur adalah tempat saya bereksperimen, juga
suami saya. Suami? Iya, suami saya suka memasak.
Suami yang terlahir dari keluarga
pencinta makanan, membentuknya menjadi pribadi yang tidak ragu-ragu berada di
dapur, memasak, mengulek, bahkan memanggang roti. Ibunya yang jualan makanan sering memintanya
untuk menemani ke pasar berbelanja. Hal inilah
yang membuat suami jadi familiar dengan dapur, alat masak, hingga bahan
makanan.
Itu baru tentang suami. Lalu bagaimana dengan saya? Tadi saya tuliskan, bahwa memasak adalah
ajang refreshing saya juga pengabdian saya.
Bagaimana bisa?
Saya, si bungsu dari 9 bersaudara ditinggal
ibunda tercinta, yang meninggal dunia ketika saya kelas 1 SMP. Kondisi inilah yang membentuk saya jadi
terpaksa harus bisa memasak. Karena saat
itu, saya hanya tinggal dengan salah satu kakak, kakak ipar, serta bapak. Bapak yang terbiasa dengan masakan Ibu yang
lezat, harus mengikhlaskan diri menyantap masakan warung. Sementara kakak ipar juga belum terlalu
pandai memasak. Jadilah saya juga
belajar memasak.
Hingga kemudian saya menikah, saya
tidak canggung lagi dengan memasak. Walaupun
hanya masakan simpel, tetapi berusaha saya masak sendiri. Bersama suami, terkadang kami mencoba
resep-resep baru di akhir pekan. Tapi walau
demikian, kami berdua juga tidak anti untuk jajan di luar. Bahasa kerennya sekarang, wisata kuliner. Terkadang kami sangat menikmati kuliner yang
tersaji. Namun tidak jarang juga kami
kemudian berujar, “ah Yang, kalau kaya gini sih kita juga bisa masak di rumah.”
Kemudian ketika saya melanjutkan
sekolah di Jepang, mau tidak mau saya harus memasak. Yang pertama karena alasan ekonomis, kedua
tentu saja agar semua makanan yang masuk adalah halal semata. Ah iya, bicara refreshing, memasak di dapur
apato kala itu juga jadi ajang refreshing saya ketika mulai jenuh dengan tugas
kuliah dan data-data. Bahkan kemudian saya menawarkan diri menjadi tukang
catering kecil-kecilan bagi sebagian teman di apato. Mereka yang patungan membeli bahannya, dan
saya memasakkan untuk mereka.
Benar, memasak itu ajang refreshing,
juga seperti sekarang ini. Menyempatkan
diri untuk memasak, menjadi ajang refreshing dari rutinitas yang kadang
menjemukan. Jika sempat, saya usahakan
memasak di pagi hari, untuk sarapan, sekaligus untuk bekal saya ke kantor.
Dulu, saya masih sering jajan di
warung, atau beli lauk. Lama kelamaan,
saya memilih memasak sendiri. Toh waktu
yang diperlukan sama, antara memasak yang simpel dengan antrian di warung. Udah gitu, saya semakin yakin juga dengan
makanan yang dihasilkan, dibandingkan makanan di warung, yang kita tidak tahu
apa bahan-bahannya. Jangan lupa, kalau
masak sendiri, pasti lebih ekonomis dibandingkan jika membeli di warung.
Lalu apa maksudnya dengan pengabdian? Bagi saya, memasak itu pengabdian. Untuk suami, untuk keluarga, untuk
orang-orang terkasih. Bagi saya, dalam sebuah
pernikahan, perlu saling memuja, saling menurunkan ego. Nah, memasak adalah cara saya memuja orang
yang saya masakkan. Juga cara saya
menurunkan ego, karena saya memilih menyempatkan diri memasak, dibandingkan tidur,
nonton televisi, maupun main gadget.
Apalagi ketika memasak, saya berusaha
mengikuti cara ibunda yang selalu berdzikir, shalawatan sembari memasak. Konon,
dzikir itulah yang membuat masakan kita menjadi semakin lezat. Ada ramuan doa, cinta yang tersaji dalam
makanan yang kita olah.
Dan, pernah saya dengar istilah “cinta
seorang pria berasal dari perutnya, jangan biarkan dia kelaparan, jika tidak
ingin dia mencari makanan ke luar rumah.”
Istilah yang dalam menurut saya. Lapar
ini bisa berarti harfiah maupun kiasan. Secara
harfiah, ya usahakan suami kita cukup kenyang ketika di rumah. Sajikan makanan terbaik yang kamu bisa. Secara kiasan, lapar ini bisa banyak hal,
tapi bukan kompetensi saya membahasnya di sini. Dan karena saya sepakat dengan istilah itu,
tidak ada salahnya saya berusaha membuat suami saya “kenyang” ketika di rumah.
Hmmm, apalagi ya? Oke, izinkan saya
kembali ke dapur, karena sekarang waktunya saya memasak, menyajikan hidangan
terbaik yang saya bisa untuk suami saya siang nanti.
Walau bagaimanapun, suami memang lebih suka bila istrinya memasak. Apalagi makanan favoritnya. Demikian pula anak-anak, lebih lahap jika makan masakan ibunya. Yah, meskipun pada faktanya tidak selalu bisa memasak karena terkait banyak hal. hehe...pengakuan saya nih, yang masih belum konsisten rutin masak tiap hari. :D Thanks sharenya mbak Tien.
BalasHapusYup, benar. Seperti halnya dulu kita juga memuja masakan Ibunda yang aduhai lezatnya,. Iya, njenengan kan repot ada balita, tapi tetap tidak mengurangi semangat memasak untuk orang-orang terkasih,.. :)
HapusKalau aku kan lebih karena "mumpung masih sempat masak" mba :)
Memasak untuk refreshing? Wahhhh bener banget, Mbak Titin. Saya kalau sudah jenuh di depan kompie, kalau nggak berkebun ya ngendon di dapur. Bikin menu khusus yang disukai keluarga. Melihat mereka makan lahap, duhhh, rasanya semangat tumbuh kembali. ira
BalasHapuspas anakku kecil aku rutin memasak, enak gak enak masakanku slalu dilahapnya, selera makannya baik dia, masakanku non MSG, meskipun ayahe bilang hambar (sebab beliau ini MSG mania), si kecil ga peduli dan tetap lahap...jangan2 terpaksa sebab ga ada makanan lain...hehehe.... tp pas si kecil besar aku mlh jarang masak...dia suka mkn di mn2...maksude pas main di tetangga, di rmh teman, atau mlh bergaya jajan sendiri di kafetaria.. jd aku yg sbetulnya agak suka memasak kini terpaksa ngejual kompor hahaha
BalasHapus